EFEKTIVITAS PERANGKAP NYAMUK KASA APUNG SEBAGAI PERANGKAP NYAMUK AEDES AEGYPTI DI WILAYAH ENDEMIS DBD KOTA TANGERANG

Authors

  • Cecep Dani Sucipto Poltekkes Kemenkes Banten
  • Kadar Kuswandi Poltekkes Kemenkes Banten

DOI:

https://doi.org/10.36743/medikes.v3i2.104

Keywords:

Efektifitas, Perangkap Nyamuk Kasa Apung, Nyamuk Aedes aegypti

Abstract

Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD di awal tahun 2015 terjadi hampir merata di seluruh Indonesia, salah satu faktornya adalah lemahnya upaya pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti yang masih mengandalkan insektisida baik larvasida maupun imagosida sebagai pembunuh nyamuk Ae. aegypti. Pemakaian insektisida yang berlebihan dengan dosis yang kurang tepat berdampak pada resistensi pada nyamuk vektor. Metode pengendalian yang baik harus memenuhi kriteria efektiv, efesien dan ramah lingkungan, sehingga perlu ada inovasi teknologi pengendalian vektor DBD yang aplikatif dan teruji. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas perangkap nyamuk kasa apung sebagai perangkap nyamuk Ae. aegypti di wilayah endemis DBD Kota Tangerang. Perangkap ini didesain sedemikian rupa sehingga nyamuk dewasa yang mau bertelur tetarik untuk meletakan telurnya di alat ini sehingga berfungsi sebagai tempat perindukan (breeding pleaces), perangkap di adopsi dari perangkap (ovitrap) terbuat dari kaleng susu yang di beri cat hitam serta di lengkapi kasa dan pelampung yang berfungsi sebagai perangkap nyamuk dewasa yang sudah menetas. Penelitian ini bersipat eksperimen yaitu mennguji perangkap kasa apung langsung di lokasi endemis DBD sebanyak seratus perangkap setiap lokasi endemis yang berjumlah tiga lokasi endemis yaitu Kecamatan Periuk, Cipondoh dan dan Jati Uwung. Hasil penelitian ini dianalisa dengan uji –T. Berdasarkan  hasil penelitian jumlah nyamuk Aedes aegypti betina dewasa yang mati di perangkap kasa apung   sebanyak    225 ekor dengan rata – rata setiap mosquito traf  15  ekor setiap perangkap, Jumlah nyamuk Aedes aegypti betina dewasa yang mati pada oiltraf sebanyak 198 ekor dengan rata –rata  13  ekor setiap perangkap dan Perangkap nyamuk kasa apung effektif sebagai perangkap di banding oiltraf. Adapun yang menjadi saran dari penelitian ini adalah kepada instansi terkait disarankan mencoba alternative pengendaliaan populasi nyamuk dengan perangkap kasa apung dan Perlu penelitian lanjut terutama penerapannya di lapangan dengan cakupan wilayah yang luas.

References

1. Basset, W.H, Clay’s Hand Book OF Environmental Healht, Chapman & Hall, Oxpord, London,1995
2. Departemen Kesehatan RI, Petunjuk Pengamatan Demam Berdarah Dengue , Jakarta, 1997.
3. Iskandar, dkk, Pemberantasan Serangga Dan Binatang Pengganggu, Pusdinakes, Jakarta, 1992
4. Sriasi,dkk, Parasitologi Kesehatan, FK UI, Jakarta,1988
5. Candra Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
6. Chareonviriyaphap., Rongnoparut P., Chantarumporn P.J., Bang Michael. 2003. Biochemical detection of pyretroid resistance mechanisms in Anopheles minimus in Thailand. Journal of Vector Ecology. 28: 108-116.
7. Christopher S.R. 1960. Aedes aegypti, the yellow fever mosquito. Cambridge Univ Press, London. 307-33.
8. Darwin Akhid. 2008. Status Kerentanan An. Balabacensis dan An. Aconitus Terhadap Insektisida Piretroid Sintetik di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Tesis. UGM. Yogyakarta
9. Djojosumarto Panut. 2008. Pestisida & Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka. Jakarta
10. Depkes, RI. 2004. Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Secara Berkala. Bulletin Harian. Jakarta.
11. Depkes, RI. 2005. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Bulletin Harian. Jakarta.
12. Depkes, RI. 2005. Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
13. Ffrench-Constant R.H. & Bonning. B.C. 1989. Rapid mictotitre plate test distinguishes insecticide resistant acetylcholinesterase genotypes in mosquitos Anopheles albomanus, An. Negerrimus and Culex pipiens 3. 9-16
14. Gandahusada., Ilahude S., Pribadi W. 2006. Parasitologi Kedokteran. Ed.III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
15. Georghiou, G.P. and R.B. Mellon. 1983. Pesticide Resistence in Time and Space. In: Pest Resistence to Pesticides (Eds. G.P. Georghiou & T. Saito). Plenum Press, New York. P. 1-46.
16. Georghiou, G.P. 1986. The Magnitude of Resistance Problem. Pesticide Resistance. National Academy Press. Washington
17. Hamington L.C., Edman J.D and Scott T.W. 2000. Why do Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) feed preferentially on human blood. J. Med. Entomol 38:411-422
18. Hemingway J and C. Smith. 1986a. Field and laboratory Detection of the Altered Acetylcholine esterase Resistance genes Which Confer Organophosphate and Carbamat Resistance in Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Bulletin Entomological Research. 76: 559-565
19. Hemingway J. and H. Ransom. 2000. Insecticide resistance in insect vectors of human disease. Annu. Rev. Entomol. 45: 371-391
20. Hardiyanto, S. 1996. Infeksi Subklinis Mycobacterium leprae dan hubungannya dengan Faktor-faktor Risiko di Indonesia. Kajian Seroepidemiologik dan Imunogenetik. Desertasi. UGM. Yogyakarta
21. Herath, P. 1997. Insecticides Resistance in Disease Vectors and its Practical Implication. WHO. Geneva.
22. Karunaratne SHP and Hemingway J. 2001. Malathion Resistance and Prevalence of the Malathion Carboxylesterase Mecanism in Population of Mosquito Vector of Disease in Sri Langka. Bulletin of the World Health Organization. 2001; 79(11): 1060 – 1064
23. Kusbaryanto, Mardihusodo SJ, Tjokrosonto S. 2002. Deteksi resistensi larva Culex quinquefasciatus say terhadap malathion dengan teknik bercak kertas saring di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, J.Ked.Yarsi 2002; 10(1): 14 – 25
24. Lee, H.L. 1990. A Rapad and Simple Biochemical Method for the Detection of insecticida Resistance Due to Elevate Esterase Activity in Culex quinquefasciatus. Tropical Biomedicine. 7: 21-26.
25. Lee, H.L. 1991. Esterase Activity and Temephos Susceptibility in Aedes aegypti (L) Larvae. Mosquito Borne Disease Bull. 8: 91-94.
26. Seng C.M. and Jute N. 1986. Dengue and dengue hemorrhagic fever outbreak in Lawas Districs, Sarawak, East Malaysia. Med. J. Malaysia. 41:310-319.
27. Sigit, S.H. dan Hadi, U.K. 2006. Hama Pemukiman Indonesia (Pengenalan, Biologi dan Pengendalian). Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
28. Small, G. 1998. Genetical background of insecticide resistance, Paper Molecular Entomology Workshop, Center for Tropical Medicine Gadjah Mada University. Yogyakarta.
29. Smith C.G.E. 1956. The History of dengue in tropical Asia and its probable relationship to the mosquito Aedes aegypti. J. Trop. Med. Hyg. 59:3-8.
30. Sucipto, Cecep Dani, 2011, Vektor Penyakit Tropis, Gossyen Publishing, Yogyakarta.
31. Sudijono. 1983. Malathion. Ditjen P3M Depkes RI. Jakarta
32. Sungkar, S. 2005. Bionomk Aedes aegypti, vector Demam Berdarah Dengue. Majalah Kesehatan Indonesia 55 (4): 384-389.
33. Suroso T. 2000. Development of DHF control policy in Indonesia from 1968 to 2000. Depkes RI. Jakarta.
34. Sutaryo. 2004. Dengue. Medika, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Downloads

Published

2016-11-30

How to Cite

Sucipto, C. D., & Kuswandi, K. (2016). EFEKTIVITAS PERANGKAP NYAMUK KASA APUNG SEBAGAI PERANGKAP NYAMUK AEDES AEGYPTI DI WILAYAH ENDEMIS DBD KOTA TANGERANG. Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan), 3(2), 157–164. https://doi.org/10.36743/medikes.v3i2.104

Issue

Section

Articles